Foto: Instagram @dr_tompi
Perseteruan antara musisi sekaligus dokter, Tompi, dengan lembaga manajemen royalti Wahana Musik Indonesia (WAMI) ternyata tidak sekadar masalah kecil. Menurut Tompi, persoalannya berlapis: mulai dari minimnya transparansi, hingga sistem pembagian royalti yang dianggap tidak adil dan membingungkan.
Puncaknya, Tompi memilih keluar dari keanggotaan WAMI. Bahkan, ia mengambil langkah ekstrem dengan membebaskan siapa pun menyanyikan lagunya tanpa harus takut soal royalti—setidaknya sampai ada kejelasan mekanisme yang konkret.
Saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (24/8/2025), Tompi meluapkan kekesalannya. Ia menegaskan bahwa dirinya bukan menolak sistem royalti, tapi ingin agar prinsipnya dijalankan secara sehat dan rasional.
“Royalti itu harus benar-benar sesuai realita. Jangan memberatkan pihak yang membayar, dan jangan pula asal bagi. Misalnya, lagu saya diputar tiga kali setahun, ya hitung tiga kali saja. Bukan malah seolah-olah tetap dapat bagian padahal lagunya tidak diputar sama sekali,” ujar Tompi dengan nada geram.
Di sisi lain, WAMI sempat menjelaskan bahwa mereka telah mendistribusikan royalti minimum Rp500 ribu nett per anggota bagi musisi yang tergabung sebelum 31 Desember 2024. Skema ini dibuat untuk memberikan kompensasi bagi karya yang tidak teridentifikasi pemutarannya.
Namun, menurut Tompi, sistem ini justru menyalahi prinsip dasar lembaga kolektif. Ia menilai WAMI seperti kabur peran—antara menjadi yayasan sosial dan lembaga pengelola royalti.
“Kalau mau nolong, bikin yayasan. Tapi kalau lembaga pengutip, ya jalankan dengan profesional. Kalau lagu diputar sejuta kali, ya hitung sejuta kali. Jangan dicampur aduk,” tegasnya.
Bagi Tompi, perdebatan ini bukan sekadar nominal, tapi menyangkut kredibilitas lembaga yang seharusnya menjadi tulang punggung perlindungan hak cipta musisi.
