Ilustrasi orang tua yang sedang mengasuh anak Sumber : Pexels: @Polesie Toys
Buletinmedia.com – Ketidakhadiran ayah atau fatherless menjadi masalah besar dalam pola asuh keluarga. Anggapan bahwa ibu mengurus anak dan ayah hanya mencari nafkah membuat banyak anak tumbuh tanpa sosok ayah yang hadir secara emosional. Padahal, keterlibatan ayah sangat penting bagi perkembangan mental dan sosial anak. Teori-teori psikologi seperti pola asuh Diana Baumrind, attachment Bowlby, dan ekologi Bronfenbrenner menunjukkan betapa pentingnya lingkungan keluarga yang seimbang dan suportif.
Data UNICEF (2021) menyebutkan 20,9% anak Indonesia kehilangan figur ayah. Bahkan, BKKBN (2025) mencatat 80% anak tumbuh tanpa peran aktif ayah, menempatkan Indonesia dalam tiga besar negara dengan tingkat fatherlessness tertinggi di dunia. Hal ini berdampak pada rasa aman, kepercayaan diri, dan kemampuan bersosialisasi anak. Sayangnya, banyak orangtua masih memandang pengasuhan sebagai tanggung jawab ibu saja, padahal peran ayah tak kalah penting.
Tantangan lain muncul dari penggunaan teknologi yang berlebihan. Generasi Alpha dan Beta kini lebih dekat dengan gadget ketimbang interaksi langsung. Ketidakseimbangan ini memengaruhi kemampuan anak mengelola emosi dan membangun relasi sosial. Ironisnya, banyak orangtua ikut terdistraksi oleh teknologi, sehingga memperparah pola asuh yang cenderung abai atau neglectful. Ini bukan hanya tentang ketidakhadiran ayah, tapi juga kurangnya keterlibatan emosional kedua orangtua.
Selain itu, masih banyak anak mengalami pola asuh otoriter dan permisif, yang bisa menyebabkan gangguan fungsi eksekutif saat dewasa. Orangtua yang menyimpan trauma masa kecil pun cenderung menurunkan pola asuh yang toxic ke anak-anak mereka. Data KPAI (2023) mencatat ribuan kasus kekerasan verbal dan emosional terhadap anak akibat pola asuh bermasalah yang berakar dari trauma orangtua.
Dampak jangka panjangnya sangat serius: anak tumbuh penuh kecemasan, tidak percaya diri, dan minim kemampuan menyelesaikan masalah. Jika tidak ditangani, harapan akan generasi emas bisa kandas. Oleh karena itu, perbaikan pola asuh harus menjadi gerakan bersama, dari pelatihan parenting hingga dukungan komunitas. Anak-anak yang menjadi korban salah asuh pun perlu kita dampingi, dengarkan, dan bantu mengakses layanan profesional bila perlu.
