Asap mengepul dari kompleks Parlemen menyusul kebakaran yang terjadi selama protes terhadap tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Nepal tengah menjadi panggung besar bagi generasi muda yang menolak bungkam. Gelombang demonstrasi yang belakangan dikenal sebagai “Gen Z Protests” bermula dari kebijakan kontroversial pemerintah yang memblokir akses ke puluhan platform media sosial. Keputusan itu dianggap sebagai serangan langsung terhadap ruang hidup digital generasi muda, sekaligus memutus sumber penghasilan kreator konten.
Namun, amarah yang mula-mula terfokus pada isu kebebasan digital dengan cepat melebar. Media sosial yang coba dibungkam justru melahirkan arus baru: kritik pedas terhadap korupsi, politik dinasti, dan gaya hidup glamor anak pejabat yang dijuluki “nepo kids” atau “nepo babies.” Hashtag dan video viral tentang kemewahan mereka menjadi bensin yang memperbesar kobaran protes.
Dari jalanan Kathmandu, aksi ini menelan korban jiwa, mengguncang istana kekuasaan hingga membuat sejumlah pejabat mundur. Tekanan besar memaksa pemerintah akhirnya mencabut pembatasan internet. Generasi muda Nepal menyebut gerakan ini sebagai “revolusi mereka sendiri”, tanda bahwa giliran mereka telah tiba untuk bicara lantang.
Fenomena Nepal bukanlah kasus tunggal. Dalam lima tahun terakhir, Gen Z di berbagai belahan dunia telah tampil sebagai motor utama perubahan. Di Iran, protes pasca kematian Mahsa Amini (2022) menjelma menjadi gelombang menuntut kebebasan perempuan. Di Amerika Serikat, Black Lives Matter (2020) mendapatkan energi tambahan dari anak-anak muda yang memanfaatkan TikTok dan Twitter untuk mengorganisasi massa. Sementara di Hong Kong, demonstrasi menolak RUU ekstradisi (2019–2020) menjadi ikon global perlawanan anak muda. Gerakan iklim Fridays for Future yang digerakkan Greta Thunberg menambah bukti bahwa generasi ini mampu mengubah percikan isu menjadi badai global.
Kunci mereka adalah digitalisasi. Teknologi komunikasi, aplikasi pesan instan, video pendek, hingga hashtag global membuat koordinasi berlangsung jauh lebih cepat dibanding era protes sebelumnya. Ironisnya, di Nepal, upaya pemerintah untuk membungkam justru berbalik memperkuat solidaritas anak muda.
Meski tiap negara punya konteks berbeda, pola yang terlihat serupa: frustrasi akibat pengangguran tinggi, korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan sosial. Gen Z menilai generasi lama telah gagal mengamankan masa depan mereka. Karena itu, tuntutan yang muncul lebih radikal: dari perubahan rezim, reformasi kebijakan, hingga revolusi sosial.
Keunggulan lain Gen Z adalah kemampuan memainkan dua medan sekaligus: jalanan dan dunia maya. Di Hong Kong, strategi “be water” digunakan untuk bergerak cair menghindari aparat. Di Iran, mereka mengandalkan VPN dan jaringan diaspora menjaga narasi tetap hidup meski internet diputus. Di Amerika, aksi jalanan dipadukan dengan kampanye daring yang menekan politisi dan korporasi.
Gelombang protes di Nepal kini dipandang sebagai peringatan keras bagi banyak pemerintah di dunia: langkah digital yang gegabah bisa memantik api besar, sementara ketidakadilan ekonomi dan politik hanya mempercepat ledakan. Generasi muda tak lagi sekadar penonton—mereka kini menjadi aktor utama perubahan.
